Thursday, February 5, 2009
Sapo Ikan Mun Khas Kanton
TIGA kawasan di China dikenal sebagai pusat berbagai masakan khas, yakni Shantung atau Shandong, Sichuan, dan Kanton. Dari ketiganya, yang paling merambah ke seluruh dunia adalah masakan Kanton. Pasalnya, orang Kanton adalah perantau tangguh yang juga menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Jadi jangan heran kalau hampir di semua negara, masakan Kanton ’merajalela’. Dalam sebuah situs Radio China, makanan Kanton yang sudah seperti makanan Indonesia antara lain bakmi goreng, bacang, dan dim sum. Resto masakan Kanton pun merebak hingga ke Jakarta.
Salah satunya adalah Resto Daun Hijau di dalam pusat pertokoan Chandra di Pancoran, Glodok. Warung milik Ng Oy Siong alias Shinta Marina ini, jika dirunut, usianya sudah lumayan tua. Sejak tahun 1935, Ng Sik mulai memperkenalkan masakan Kanton melalui Restoran Tiong Guan (Chung Yen) di Jalan Hayam Wuruk 26, Jakarta Pusat. Ng Sik tak lain adalah kakek Siong (Shinta).
Restoran di masa itu bermakna sebuah tempat makan untuk pesta, seperti pesta pernikahan. Biasanya, resto di zaman ini memiliki ruang luas dengan meja besar dan kursi yang mengelilinginya. Di resto ini pula orangtua Shinta, Fung Ie Chen dan Ng Song Ik, menikah.
Resto ini mulus meramaikan kawasan Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk) hingga tahun 1960. Di tahun itu hubungan politik Indonesia dengan RRC memburuk. Resto pun terpaksa ditutup. Tak lama, Fung Ie Chen, sang ibu, membuka dagangan di kaki lima di kawasan Jalan Batu Jajar, masih meneruskan beberapa resep leluhurnya. Nasib kembali berulang, warung ini tutup tahun 1969.
Politik bukan alasan penutupan warung karena mereka memilih pindah ke pusat perbelanjaan Gloria di Pancoran, Glodok. "Dulu kita buka di Taman Makan Minum Sumatera namanya, kayak foodcourt," kisah Shinta yang mendapat nama baru ini dari sang guru.
Di Gloria, pada tahun 1971, ia mulai menggantikan ibunya. Nama Daun Hijau pun mulai ada. "Saya kasih nama itu biar terkesan seger aja," begitu ia menjawab ketika ditanya mengapa memilih nama daun hijau.
Saat Shinta mengelola, warung sempat pindah sebentar ke Gloria belakang untuk kemudian pindah lagi ke pusat pertokoan Chandra pada tahun 1984.
Lumpia dan mi
Berhubung tak mungkin lagi mempertahankan semua resep sang kakek, Shinta pun mulai mencari resep lain. Akhirnya, di tahun 1971 ia mulai menjual sapo ikan mun. Sapo tak lain adalah sejenis kuali yang di negeri asalnya terbuat dari tanah berpasir - kini sudah tak asing lagi di sini.
Dalam kuali itu terdapat air bercampur bumbu dengan rasa taosi (sejenis kedelai berwarna hitam) yang kental, potongan tales pontianak berwarna sedikit gelap, dan tahu, yang semuanya direbus agak lama. Untuk ikan bisa pilih gurami, kepala kerapu, atau kodok batu. Intinya adalah pada kuah taosi tadi.
Ikan, tahu, dan tales yang sudah menjadi sangat lembut dimakan bersama kuah tadi. Tambahkan sambal kecap asin bercampur potongan cabai rawit jika suka. Seporsi sapo gurami bisa dimakan 2-3 orang. Harganya dipatok Rp 55.000. "Sapo ini di sini saya duluan yang memulai. Dulu kan belum ada sapo di sini, tapi di Hong Kong dan Singapura udah lebih banyak," katanya.
Selain sapo, lumpia udang yang seporsi berisi 10 potong seharga Rp 40.000 juga jadi jagoan warung ini sejak nyaris 40 tahun lalu. Jangan lupa cocol dengan saus sambal, dimakan ketika masih panas makin nikmat. Begitu sampai di lidah, rasa udang berbumbu itu begitu nendang. Jika lumpia dibelah, potongan udang langsung terlihat.
Ada satu lagi yang jadi andalan, ifumi. Menu ini berupa mi yang digoreng kering kemudian disiram dengan kuah bercampur sayuran, jamur, dan makanan laut. Yang unik, mi untuk ifumi dibikin sendiri sehingga rasanya pun gurih seperti kue keju kering, hanya saja mi untuk ifumi ini begitu tipis dan lembut. Warung ini buka setiap hari pukul 09.30-19.30, kecuali Hari Raya Imlek atau Sincia 26 Januari 2009, warung ini tutup sehari.
Boyong Sapo dari Hong Kong
Shinta Marina alias Ng Oi Siong, putri ke-3 dari delapan bersaudara pasangan Ng Song Ik dan Fung Ie Chen, berkisah bahwa saat akan memulai menjajakan menu sapo di tahun 1970-an, ia harus memboyong sapo, sejenis kuali yang terbuat dari tanah pasir, dari Hong Kong dan Singapura. "Sebab dulu belum ada sapo di sini, jadi kita kalau beli sapo, ya, harus ke Hong Kong atau Singapura," ungkapnya.
Ia melihat peluang menjajakan menu sapo yang saat itu belum ada di Jakarta. Segera saja ia merebut peluang itu meski harus mencari sapo dari luar Indonesia. Penggemar dance cha cha dan jive ini kesulitan menjual resep jagoan sang kakek, berupa sup telur kepiting dengan sirip ikan hiu - hai wong hisit. "Sebab mahal harganya," ucapnya.
Menu yang masih bertahan hingga kini adalah ifumi. "Waktu saya masih kecil dan kakek saya masih ada, saya udah tau yang namanya ifumi. Dari zaman kakek saya, ifumi itu mi yang digoreng kering. Kakek saya bikin sendiri mi-nya. Sampai sekarang, anak saya juga bisa bikin adonan mi-nya," papar Shinta.
Kini kesibukannya selain mengontrol warung di pertokoan Chandra, lebih banyak dihabiskan untuk berdansa dan mengurus cabang Daun Hijau di Karawaci.
"Kalau di sini (pertokoan Chandra --Red) kan udah hidup, jadi perhatian saya lebih banyak ke cabang," imbuh Shinta. Cabangnya ada di Taman Sari Lippo Karawaci di Pendopo.
Seperti pedagang atau warga Pancoran, Glodok pada umumnya, Shinta punya harapan yang sama, yakni ingin kawasan ini hidup lagi seperti sebelum kerusuhan Mei 1998. Jika kawasan ini hidup maka segala usaha juga akan kembali bersinar, bahkan mungkin lebih bersinar lagi sebagai kawasan Pecinan Jakarta.
Pradaningrum Mijarto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment