TrafficRevenue

Saturday, November 29, 2008

Kaum Mini di Pulau Eksotik

75[1]







Di antara pepohonan kelapa yang menjulang dan melambai-lambai, sosok Hasan Bura makin kentara layaknya bocah yang kekurangan gizi. Tingginya hanya sekitar 120 cm, dengan bobot 30-an kilogram. Tampak kecil dan kurus.


Itu kalau dari kejauhan. Jika didekati, Hasan Bura bukanlah bocah lagi. Raut mukanya tampak renta, dengan keriput di pipi dan sekujur tubuhnya yang hitam terpanggang matahari. Suaranya pun parau. Maklum, usianya sudah 52 tahun. ’’Beginilah, saya memang tergolong kerdil,’’ kata Hasan, agak tersipu, kepada Gatra yang menyambanginya bulan lalu.


Hasan Bura adalah satu dari 40-an warga yang bermukim di Pulau Lanjukang, Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau eksotik dengan hamparan terumbu karang dan rerimbunan kelapa ini masuk dalam Kelurahan Burang Caddi di Kecamatan Ujung Tanah. Uniknya, semua warganya berukuran mini alias kerdil atawa cebol. Tingginya 80-120 cm saja.


Meski bertubuh irit dan tinggal di daerah terpencil, mereka tetap bersemangat tinggi. Untuk menyambung hidup, kaum lelaki rajin menangkap ikan dan memetik kelapa. Ikan dan kelapa ini dijual kepada nelayan yang singgah di pulau itu. Sedangkan kaum perempuan memelihara ternak ayam dan itik, juga bertanam sayuran.


Hasil penjualan ikan dan kelapa dipakai untuk membeli beras di pulau terdekat yang ekonominya lebih maju, seperti Pulau Langkai. "Kalau masih ada sisanya, kami belikan air bersih dan keperluan lain untuk memperbaiki rumah," tutur Hasan. Tiap-tiap kepala keluarga memiliki perahu sederhana sebagai sarana transportasi dan menangkap ikan.


Sejak lahir, Hasan menetap di salah satu dari 11 gugusan Pulau Spermonde di wilayah Sulawesi Selatan, yang menghampar antara Pulau Selayar dan pulau-pulau di Kabupaten Pangkep tersebut. Ayahnya, Muhammad Bura, kini 78 tahun, mendiami pulau itu sebelum zaman kemerdekaan. Ia hijrah dari Makassar ke sana ikut pamannya. ’’Paman mengajak saya tinggal di sini, lama-lama keterusan,’’ tutur Muhammad Bura.


Menurut dia, sang paman bernama Sossong diupah Belanda untuk menunggu pulau tersebut. Sossong mengajak Muhammad Bura remaja untuk meretas kehidupan di situ. Mulanya Muhammad Bura tak betah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, perjalanan ke Makassar cukup jauh dan jarang ada kapal. Pada saat ini saja, pulau itu ditempuh dua jam perjalanan dari Makassar dengan jolloro (kapal kecil tradisional Bugis-Makassar) bertenaga 40 PK.


Lama-kelamaan, Muhammad Bura pun betah di sana. Apalagi, ia kemudian menikahi Isya, gadis setempat. Tak lama setelah Sossong memboyong keluarganya dan Muhammad Bura ke pulau itu, secara berangsur-angsur pulau itu kedatangan penghuni lain, sejumlah warga yang, maaf, bertubuh cebol. Tinggi badan Isya, misalnya, hanya satu meter. Sebagian pendatang itu masih kerabat Sossong.


Dari mana asal-usul mereka, memang belum diketahui secara pasti. Yang jelas, orang cebol sudah lama ada di ’’bumi anging mamiri’’ itu. Muchlis Hadrawi, dosen Jurusan Sastra Bugis-Makassar, Universitas Hasanuddin, Makassar, menjelaskan bahwa lontara Bugis-Makassar yang disebut lontara Ade’ pada akhir abad ke-16 membuktikan hal itu.


Dalam lontara itu dijelaskan bagaimana raja-raja memberikan hak-hak istimewa kepada orang kerdil --kerap disebut to pance, misalnya diberi ampunan bila melakukan pelanggaran sosial kemasyarakatan. Namun mereka juga tidak lepas dari batasan berkiprah di tengah masyarakat, lebih-lebih dalam struktur pemerintahan.


Pada zaman kemerdekaan, ada dugaan, kaum cebol itu terdesak dan memilih bermukim di pulau-pulau terpencil. Jumlah dan sebarannya belum diketahui secara pasti. Mereka berinteraksi dan beranak-pinak dengan kerabat sendiri, sehingga menghasilkan keturunan yang cebol pula hingga kini. Diperkirakan, perkawinan antar-kerabat ini adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kualitas keturunan mereka tak beranjak.


76[1]


Pasangan Muhammad Bura-Isya, misalnya, dikaruniai enam anak yang cebol. Hasan Bura, anak nomor dua, cuma setinggi 1,2 meter. Saudara-saudaranya ada yang cuma setinggi 80 cm. Sang ayah, Muhammad Bura, memang tidak tergolong kerdil. Namun, agaknya, faktor genetik sang ibu dan leluhurnya yang juga cebol sangat dominan terhadap keturunan pasangan ini.


Hasan Bura mengakui, perkawinan model itu tak sehat. ’’Tapi tak ada (orang luar pulau) yang mau kami nikahi,’’ katanya. Hasan pun terpaksa mengawini kerabatnya, gadis dengan tinggi satu meter. Alhasil, keempat anaknya pun bertubuh cebol. Saudara-saudara Hasan juga mengawini kerabat dan hijrah ke Pulau Langkai, memboyong anak-anak mereka yang kerdil.


Dibandingkan dengan Pulau Langkai yang relatif lebih maju --setidaknya punya pasar tradisional dan fasilitas umum lainnya-- Pulau Lanjukang masih ketinggalan. Alamnya yang indah dengan terumbu karang di sekelilingnya agaknya belum memberi manfaat nyata bagi pulau seluas 6,3 hektare itu.


Fasilitas di situ masih amat minim. Anak-anak tak ada yang bersekolah. Selain guru tetap tak ada --yang ada cuma guru ’’terbang’’ yang mengajar satu-dua hari dalam sebulan-- mereka juga lebih suka bermain dan membantu orangtua menangkap ikan. Petugas puskesmas pun jarang datang. Satu-satunya fasilitas yang sangat disyukuri warga adalah sebuah musala yang dibangun pemerintah daerah setempat.


Dengan semua kondisi itu, termasuk tak ada fasilitas air bersih, Muhammad Bura sebagai sesepuh memilih tetap tinggal di Pulau Lanjukang. Hasan Bura dan anak-anaknya mengikuti jejak sang ayah. Beberapa kerabat mereka juga memilih tetap bermukim di pulau itu. Setiap keluarga memiliki rumah sendiri.


Dari 10 rumah yang ada, hanya rumah Hasan Bura yang lumayan. Rumah itu cukup besar. Di dalamnya ada televisi dan peralatan komunikasi. Juga ada generator, yang dimanfaatkan untuk menerangi seluruh rumah warga.


Kalau malam hari, warga menghibur diri dengan sejenak menonton televisi bersama-sama di rumah Hasan Bura. Mereka menyimak tayangan berita terkini, film laga, dan musik dangdut. Mereka pun keranjingan sinetron produk dalam negeri yang kerap menampilkan kehidupan glamor tanpa logika.


Apakah mereka berniat pindah ke kota atau pernah bermimpi mencicipi kemewahan ala sinetron tadi? Atau bermimpi mengikuti jejak Ucok Baba yang sukses menjadi artis cebol? ’’Kami tidak pernah bermimpi pindah ke kota, tidak pula bermimpi macam-macam. Kami betah dan bahagia tinggal di sini. Kaya harta bukan jaminan hidup senang,’’ kata Hasan Bura, enteng.


Taufik Alwie dan Anthony

Thursday, November 20, 2008

Kampung Naga (Dragon Village)


Dragon Village situated around 90 km from Bandung. society that this region has long tradition permanent is defended. these village uniqueness house buildings that are made uniform, begin from building material comes building cut and direction look out on it. as complete as it hit dragon village visible at dragon village yard



dragon village is tradisional settlement broadly areal approximately 4 ha. dragon village tour object location lays in ruas highway that connect tasikmalaya - bandung pass garut, that is approximately in kilometer to 30 up at west city tasikmalaya. administratively dragon village belongs village legok dage village neglasari district salawu regency tasikmalaya.



dragon village lays in unique life from communities located in dragon village. their life can mixed with masyrakat modern, a muslim, but still strong memlihara the ancestor customs and traditions. like various custom ceremony, days ceremony besr month ceremony for example islam mulud or alif with carry out pedaran (great grand father grand mother history reading) this process is begun with bathe at river ciwulan and tourist may follow programme on condition that must bow to rule there.